KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT. yang telah senantiasa memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua, umat manusia. Shalawat serta salam tak lupa kita ucapkan kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW.
Atas berkat rahmat Allah SWT. penulis dapat menyelesaikan makalah yang membahas tentang tata cara ber-ta’aruf yang baik dan benar. Makalah ini merupakan tugas terstruktur dari mata kuliah Pendidikan Agama Islam. Di dalamnya akan dibahas mengenai permasalahan-permasalahan hubungan antara Akhwat dan Ikhwan, serta penjabarannya dalam syariat islam.
Penulis berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi diri penulis maupun para pembaca. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, maka penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca agar makalah menjadi lebih baik dan sempurna untuk kedepannya.
Bogor, 1 Juni 2011
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ................................................................................. 1
DAFTAR ISI ............................................................................................... 2
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................... 3
1.1 Latar Belakang ........................................................................... 4
1.2 Rumusan Masalah ...................................................................... 5
1.3 Tujuan penulisan makalah .......................................................... 6
BAB II PEMBAHASAN ............................................................................ 7
2.1 Pengertian Ta’aruf dan Pacaran.................................................. 8
2.2 Perbedaan Ta’aruf dengan Pacaran ............................................ 9
2.3 Tata cara ta’aruf sesuai syariat Islam ......................................... 10
2.4 Berta’aruf ala Rasulullah ........................................................... 11
BAB III PENUTUP ................................................................................... 12
3.1 Kesimpulan ................................................................................ 13
3.2 Saran .......................................................................................... 14
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Siapakah di antara kita yang tidak ingin di masa depannya memiliki rumah tangga yang islami, sakinah mawaddah warahmah? Anak-anak yang shalih, istri shalihah, suami yang shalih, semua tidak akan terwujud kecuali karena taufiq dari Allah, dan ikhtiar masing masing individu. Maka untuk membentuk suatu keluarga yang Islami, perlu dilakukan upaya-upaya yang dari awalnya harus sesuai dengan syari’at Islam. Jalan yang disyari’atkan salah satunya adalah ta’aruf, yaitu mengenal calon pasangan kita.
Saat ini sering kali kita mendengar istilah ta’aruf, yang identik dengan proses menuju pernikahan. Tapi apakah sebenarnya ta’aruf itu? Ta’aruf, secara makna berarti perkenalan, namun secara istilah adalah upaya pengenalan seorang muslim dengan calon pasangannya untuk menjajaki adanya keserasian diantara mereka agar bisa menjalani hubungan sebagai suami istri.
Perbedaan ta’aruf dan pacaran, tata cara ta’aruf yang baik dan benar disertai tanya jawab akan dibahas selanjutnya dalam makalah ini. Semoga Allah selalu menolong kita agar tetap istiqomah dalam melaksanakan syari’atnya.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari penulisan makalah ini :
1. Bagaimana cara ta’aruf yang benar ?
2. Apa saja perbedaan antara pacaran dengan ta’aruf ?
3. Bagaimana proses ta’aruf yang dilakukan oleh Rasulullah SAW ?
1.3 Tujuan Penulisan Makalah
Tujuan pembuatan makalah ini di antaranya :
- Mengenal ta’aruf dan mengetahui tata cara ta’aruf yang sesuai dengan syariat Islam.
- Mengetahui perbedaan mendasar antara ta’aruf dengan pacaran.
- Mengetahui proses berta’aruf ala Rasulullah SAW.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Ta’aruf dan Pacaran
Pacaran : adalah budaya orang-orang jahil yang tanpa melalu tertib tetap yang cenderung menghalalkan segala cara. Contoh : Boleh jalan berdua, boleh berzina, boleh kapanpun bermaksiat, boleh sembunyi-sembunyi dari orang tua, bebas berbohong, bebas berangan-angan, bebas berandai-andai, tak ada aturan yang mengikat.
Ta'aruf : perkenalan laki laki kepada wanita adalah yang dibolehkan dalam islam, dengan syarat dan tata cara tertentu dengan tertib yang tetap. Contoh : harus diketahui wali perempuan, tidak boleh berbohong, niat harus benar, tidak boleh jalan berdua, tidak boleh pegangan tangan apalagi berzina, melihat hanya boleh wajah dan telapak tangan.
Dapat disimpulkan dari pengertian di atas bahwa sesungguhnya dalam Islam tidak mengenal adanya istilah pacaran, melainkan ta’aruf. Seperti yang difirmankan oleh Allah SWT. (Al-Isra’:32) :
“Dan janganlah kamu dekati zina. Sesungguhnya zina itu suatu perbuatan yang keji dan jalan yang buruk.”
Rasulullah SAW bersabda: "Ada tiga jenis orang yang diharamkan Allah masuk surga, yaitu pemabuk berat, pendurhaka terhadap kedua orang tua, dan orang yang merelakan kejahatan berlaku dalam keluarganya (yakni, merelakan istri atau anak perempuannya berbuat serong atau zina)." (HR.Nasa'i, Ahmad)
2.2 Perbedaan Antara Ta’aruf dengan Pacaran
Di jaman sekarang ini seringkali kita menemukan orang yang lagi pacaran, entah itu di jalan, mal, kampus, jembatan layang, taman kota, atau di mana pun pasti ada. Terlebih lagi saat ini acara-acara televisi sangat gamblang mengekspos kehidupan cinta para remaja yang kian hari kian membawa dampak negatif bagi para pemirsanya.
Sebetulnya apa sih pacaran itu? Biasanya kalau ada cowok dan cewek saling suka, salah satunya menyatakan cinta dan yang lainnya menerima, itu berarti sudah pacaran. Buat sebagian orang pacaran itu isinya jalan berdua, makan, nonton, curhat-curhatan, mesra-mesraan. Pokoknya hanya untuk melakukan kesenangan semata. Ada pula orang yang menganggap tujuan pacaran itu untuk lebih mengenal sebelum menuju pernikahan.
Sebagai umat Islam kita perlu mengkritisi apakah “praktek pacaran” yang banyak dilakukan orang ini sesuai atau tidak dengan aturan-aturan dalam Islam.
Sebagai umat Islam kita perlu mengkritisi apakah “praktek pacaran” yang banyak dilakukan orang ini sesuai atau tidak dengan aturan-aturan dalam Islam.
Berikut adalah penjabaran mengenai perbedaan antara pacaran dengan ta’aruf:
Pertama. Orang kalau sedang berpacaran maunya berdua terus. Beberapa hari enggak ditelepon sudah resah, seharian enggak disms sudah kangen. Begitu ketemu ingin memandang wajahnya terus, seakan dunia hanya milik berdua. Tak jarang pula terlihat sampai mojok berdua di tempat sepi, kemudian bermesra-mesraan. Sebaiknya berhati-hati, sebab Rasulullah SAW bersabda : “Tiada bersepi-sepian seorang lelaki dan perempuan, melainkan syaitan merupakan orang ketiga di antara mereka.”
Kedua. Kalau sedang pacaran rasanya seperti dimabuk cinta. Lupa dengan yang lainnya. Hati-hati juga bila seperti inim karena nanti kita bias lupa sama tujuan Allah menciptakan kita (manusia). Firman Allah SWT : “Dan tidak kuciptakan jin dan manusia, kecuali untuk beribadah kepadaKu.” (QS 51 : 56)
Ketiga. Bukan rahasia lagi kalau di jaman serba permisif ini seks sudah menjadi bumbu penyedap dalam pacaran (Majalah Hai edisi 4-10 Maret 2002). Majalah Kosmopolitan juga mengadakan riset di lima universitas terbesar di Jakarta, dan ternyata dari yang mengaku pernah melakukan aktivitas seksual, sebanyak 67,1% pertama kali melakukan dengan pacarnya.
Keempat. Ternyata pacaran bukan jaminan akan berlanjut ke jenjang pernikahan. Banyak orang di sekitar kita yang sudah bertahun-tahun pacaran ternyata kandas di tengah jalan. Pacaran pun tidak menjadikan kita tahu segalanya tentang si dia. Banyak yang sikapnya berubah setelah menikah.
Kalau kini kita telah mengetahui praktek pacaran tidak menjadi suatu jaminan bahkan banyak melanggar aturan Allah dan tidak mendapat ridho-Nya, masihkah kita akan tetap melakukannya?
Tetapi seringkali timbul pertanyaan, lalu kalau bukan dengan pacaran, bagaimana kita dapat bertemu dengan jodoh kita? Jaman sekarang kan kita enggak bisa percaya begitu saja sama orang, jadi perlu ada penjajakan. Sudah pasti Islam pun mengatur hal seperti ini, karena segala sesuatu aspek dalam kehidupan kita sesungguhnya sudah diatur dan tercantum dalam ayat-ayat suci Al-Qur’an. Untuk mengatasi hal tersebut, kita mengenalnya dengan sebutan ta’aruf, yang berarti perkenalan.
Berikut adalah hal-hal mengenai ta’aruf :
Pertama, ta'aruf itu sebenarnya hanya untuk penjajagan sebelum menikah. Jadi kalau salah satu atau keduanya tidak merasa cocok bisa menyudahi ta'arufnya. Ini lebih baik daripada orang yang pacaran lalu putus. Biasanya orang yang pacaran hatinya sudah bertaut sehingga kalau tidak cocok sulit putus dan terasa menyakitkan. Tapi ta'aruf, yang Insya Allah niatnya untuk menikah Lillahi Ta'ala, kalau tidak cocok bertawakal saja, mungkin memang bukan jodoh. Tidak ada pihak yang dirugikan maupun merugikan.
Kedua, ta'aruf itu lebih fair. Masa penjajakan diisi dengan saling tukar informasi mengenai diri masing-masing baik kebaikan maupun keburukannya. Bahkan kalau kita tidurnya sering ngorok, misalnya, sebaiknya diberitahukan kepada calon kita agar tidak menimbukan kekecewaan di kemudian hari. Begitu pula dengan kekurangan-kekurangan lainnya, seperti mengidap penyakit tertentu, enggak bisa masak, atau yang lainnya. Informasi bukan cuma dari si calon langsung, tapi juga dari orang-orang yang mengenalnya (sahabat, guru ngaji, orang tua si calon). Jadi si calon enggak bisa ngaku-ngaku dirinya baik. Ini berbeda dengan orang pacaran yang biasanya semu dan penuh kepura-puraan. Yang perempuan akan dandan habis-habisan dan malu-malu (sampai makan pun jadi sedikit gara-gara takut dibilang rakus). Yang laki-laki biarpun lagi bokek tetap berlagak kaya, traktir ini dan itu (padahal dapat duit dari minjem teman atau hasil ngerengek ke orang tua).
Ketiga. Dengan ta'aruf kita bisa berusaha mengenal calon dan mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Hal ini bisa terjadi karena kedua belah pihak telah siap menikah dan siap membuka diri baik kelebihan maupun kekurangan. Ini akan menghemat waktu yang cukup besar. Coba bandingkan dengan orang pacaran yang sudah lama pacarannya, tetapi sering merasa belum bisa mengenal pasangannya. Bukankah sia-sia belaka?
Keempat. Melalui ta’aruf kita boleh mengajukan criteria calon yang kita inginkan. Kalau ada hal-hal yang cocok Alhamdulillah, tetapi bila ada yang kurang cocok bisa dipertimbangkan dengan memakai hati dan pikiran yang sehat. Keputusan akhirpun tetap berdasarkan dialog dengan Allah melalui shalat istikharah. Berbeda dengan orang yang mabuk cinta dan pacaran. Kadang hal buruk pacarnya, misalnya suka memukul, suka mabuk, tetap diterimanya padahal hati kecilnya tidak menyukainya. Tapi karena cinta (atau sebenarnya nafsu) terpaksa menerimanya.
Kelima. Kalau memang ada kecocokan, biasanya jangka waktu ta'aruf ke khitbah (lamaran) dan ke akad nikah tidak terlalu lama. Ini bisa menghindarkan kita dari berbagai macam zina termasuk zina hati. Selain itu tidak ada perasaan "digantung" pada pihak perempuan. Karena semuanya sudah jelas tujuannya adalah untuk memenuhi sunah Rasulullah yaitu menikah.
Keenam. Dalam ta’aruf tetap dijaga adab berhubungan antara laki-laki dan perempuan. Biasanya ada pihak ketiga yang memperkenalkan. Jadi kemungkinan berkhalwat (berdua-duaan) menjadi semakin kecil, yang artinya kita terhindar dari zina.
Keenam. Dalam ta’aruf tetap dijaga adab berhubungan antara laki-laki dan perempuan. Biasanya ada pihak ketiga yang memperkenalkan. Jadi kemungkinan berkhalwat (berdua-duaan) menjadi semakin kecil, yang artinya kita terhindar dari zina.
Dilihat dari berbagai macam perbedaan di atas, ternyata ta’aruf memiliki banyak kelebihan dan manfaat dibandingkan dengan pacaran. Dan di ridhai oleh Allah SWT tentunya. Maka dari itu, sahabat, mulailah sejak dini kita mawas diri akan kejahatan-kejahatan dan perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh Allah SWT.
2.3 Tata cara Ta’aruf yang sesuai dengan aturan Islam
Ta'aruf merupakan sarana yang objektif dalam melakukan pengenalan dan pendekatan. Ta'aruf sangat berbeda dengan pacaran. Ta`aruf secara syar`i memang diperintahkan oleh Rasulullah SAW bagi pasangan yang ingin nikah. Perbedaan hakiki antara pacaran dengan ta'aruf adalah dari segi tujuan dan manfaat.
Jika tujuan pacaran lebih kepada kenikmatan sesaat, zina dan maksiat. Sedangkan ta'aruf jelas sekali tujuannya yaitu untuk mengetahui kriteria calon pasangan.
Jika tujuan pacaran lebih kepada kenikmatan sesaat, zina dan maksiat. Sedangkan ta'aruf jelas sekali tujuannya yaitu untuk mengetahui kriteria calon pasangan.
Ketika melakukan ta'aruf, seseorang baik pihak laki-laki atau perempuan berhak untuk bertanya yang mendetail, seperti tentang penyakit, kebiasaan buruk dan baik, sifat dan lainnya. Kedua belah pihak harus jujur dalam menyampaikannya. Karena bila tidak jujur, bisa berakibat fatal nantinya. Dalam upaya ta’aruf dengan calon pasangan, pihak laki-laki dan perempuan dipersilahkan menanyakan apa saja yang kira-kira terkait dengan kepentingan masing-masing nanti selama mengarungi kehidupan. Tapi tentu saja semua itu harus dilakukan dengan adab dan etikanya. Tidak boleh dilakukan hanya berdua saja, tetapi harus ada yang mendampinginya dan yang utama adalah wali atau keluarganya. Jadi ta’aruf bukanlah bermesraan berdua, tapi lebih kepada pembicaraan yang bersifat realistis untuk mempersiapkan sebuah perjalanan panjang berdua. Sisi yang dijadikan pengenalan tidak hanya terkait dengan data global, melainkan juga termasuk hal-hal kecil yang menurut masing-masing pihak cukup penting.
Misalnya masalah kecantikan calon istri, dibolehkan untuk melihat langsung wajahnya dengan cara yang seksama, bukan hanya sekedar curi-curi pandang atau mengintip fotonya. Justru Islam telah memerintahkan seorang calon suami untuk mendatangi calon istrinya secara langsung face to face, bukan melalui media foto, lukisan atau video.
Karena pada hakikatnya wajah seorang wanita itu bukan aurat, jadi tidak ada salahnya untuk dilihat. Dan khusus dalam kasus ta`aruf, yang namanya melihat wajah itu bukan cuma melirik-melirik sekilas, tapi kalau perlu dipelototi dengan seksama. Periksalah apakah ada jerawat numpang tumbuh disana. Begitu juga dia boleh meminta diperlihatkan kedua tapak tangan calon istrinya. Juga bukan melihat sekilas, tapi melihat dengan seksama. Karena tapak tangan wanita pun bukan termasuk aurat.
Selain urusan melihat fisik, ta’aruf juga harus menghasilkan data yang berkaitan dengan sikap, perilaku, pengalaman, cara kehidupan dan lain-lainnya. Hanya saja, semua itu harus dilakukan dengan cara yang benar dan sesuai dengan koridor syariat Islam. Minimal harus ditemani orang lain baik dari keluarga calon istri atau dari calon suami. Sehingga tidak dibenarkan untuk pergi jalan-jalan berdua, nonton, boncengan, kencan, dan sebagainya dengan menggunakan alasan ta’aruf. Janganlah ta’aruf menjadi pacaran. Sehingga tidak terjadi khalwat dan ikhtilat antara pasangan yang belum resmi menjadi suami istri.
Bila kita cermati ayat atau hadist tentang pernikahan, maka kita akan menemukan bahwa kita di anjurkan untuk menikah dengan orang yang kita sukai. Dalam hal ini, suka menjadi “Hal” atau Syarat untuk menikah. Nabi Muhammad SAW bersabda dalam sebuah hadist yang di riwayatkan oleh imam Ahmad dengan sanad hasan dari Jabir Bin Abdillah Al-Anshari yang menuturkan bahwa dia mendengar Rasulullah SAW bersabda “Jika salah seorang di antara kalian hendak melamar seorang wanita dan mampu melihat (tanpa sepengetahuan wanita tersebut), bagian dan anggota tubuh wanita tersebut, sehingga bisa mendorongnya untuk menikahinya, maka lakukanlah”.
Juga hadits yang dikeluarkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Sahl bin Sa’ad As-Saidi. Dia menceritakan bahwa ada seorang wanita yang mendatangi Rasulullah SAW dan mengatakan “Wahai Rasulullah aku datang untuk menghadiahkan diriku padamu”. Rasulullah SAW lantas memandangnya dari atas sampai bawah, setelah itu menundukkan kepala. Allah SWT Berfirman : “Tidak Halal bagi kamu mengawini perempuan-perempuan seudah itu, tidak boleh pula mengganti mereka dengan istri-istri yang lain, meskipun kecantikannya menarik hatimu”. (Al-Ahzab:53).
Juga Firman Allah SWT dalam surat Annisa ayat 3 : “Maka nikahilah oleh kalian wanita yang kalian sukai”. Dari penjelasan ini jelas bahwa Ta’aruf berfungsi untuk mengetahui hal-hal yang bisa membuat kita tertarik / suka dan yakin akan menikahi orang tersebut.
Ada beberapa pertanyaan yang sering diajukan seputar aktivitas ta’aruf :
1. Apakah Boleh pada saat Ta’aruf saling mengirim sms, saling menelepon?
Menelepon ataupun saling berkirim sms, hukumnya adalah mubah selama aktivitas tersebut tidak mengajak kepada kemungkaran atau kefasikan. Walaupun dari sering menelepon atau berkirim sms bisa membuat kita rindu dan sering memimpikan atau membayangkan dia. Allah SWT berfirman “Tidaklah dosa bagimu, jika……..kamu pelihara dalam Qalbumu, Allah maha mengetahui bahwa kamu teringat-ingat kepada mereka” (Al-Baqarah:235).
2. Bolehkah ketika Ta’aruf kita berkunjung kerumah Wanita atau janjian untuk bertemu di suatu tempat?
Syara’ telah membolehkan kita untuk berbicara dengan wanita yang bukan mahram selama itu dilakukan di tempat terbuka atau umum. Sehingga memungkinkan orang lain untuk mendengar atau mengawasinya. Hafidz Ibnu Hajar Asqalani mengatakan “Nabi tidak berkhalwat dengan non mahram kecuali dalam keadaan mereka tidak tertutup dari pandangan mata orang lain dan suara mereka berdua dapat di dengar orang lain, walaupun orang tersebut tidak mendengarnya dengan jelas apa yang merea bicarakan” ( Fathul Barr Syarah Shahih Bukhari Juz II Halaman 246-247).
3. Bagaimana hukum seorang ikhwan (laki-laki) mengungkapkan perasaannya (sayang atau cinta) kepada seorang akhwat (wanita) calon istrinya ?
Pacaran bukanlah alternatif yang ditolerir dalam Islam untuk mencari dan memilih pasangan hidup. Menjadi jelas pula bahwa tidak boleh mengungkapkan perasaan sayang atau cinta kepada calon istri selama belum resmi menjadi istri. Baik ungkapan itu secara langsung atau lewat telepon, ataupun melalui surat. Karena saling mengungkapkan perasaan cinta dan sayang adalah hubungan asmara yang mengandung makna pacaran yang akan menyeret ke dalam fitnah. Demikian pula halnya berkunjung ke rumah calon istri atau wanita yang ingin dilamar dan bergaul dengannya dalam rangka saling mengenal karakter dan sifat masing-masing, karena perbuatan seperti ini juga mengandung makna pacaran yang akan menyeret ke dalam fitnah. Wallahul musta’an (Allah-lah tempat meminta pertolongan).
Adapun cara yang ditunjukkan oleh syariat untuk mengenal wanita yang hendak dilamar adalah dengan mencari keterangan tentang yang bersangkutan melalui seseorang yang mengenalnya, baik tentang biografi (riwayat hidup), karakter, sifat, atau hal lainnya yang dibutuhkan untuk diketahui demi maslahat pernikahan. Bisa pula dengan cara meminta keterangan kepada wanita itu sendiri melalui perantaraan seseorang seperti istri teman atau yang lainnya. Dan pihak yang dimintai keterangan berkewajiban untuk menjawab seobyektif mungkin, meskipun harus membuka aib wanita tersebut karena ini bukan termasuk dalam kategori ghibah yang tercela. Hal ini termasuk dari enam perkara yang dikecualikan dari ghibah, meskipun menyebutkan aib seseorang. Demikian pula sebaliknya dengan pihak wanita yang berkepentingan untuk mengenal lelaki yang berhasrat untuk meminangnya, dapat menempuh cara yang sama. Dalil yang menunjukkan hal ini adalah hadits Fathimah bintu Qais ketika dilamar oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan Abu Jahm, lalu dia minta nasehat kepada Rasulullah SAW bersabda :
أَمَّا أَبُو جَهْمٍ فَلاَ يَضَعُ عَصَاهُ عَنْ عَاتِقِهِ، وَأَمَّا مُعَاوِيَةُ فَصُعْلُوْكٌ لاَ مَالَ لَهُ، انْكِحِي أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ
“Adapun Abu Jahm, maka dia adalah lelaki yang tidak pernah meletakkan tongkatnya dari pundaknya . Adapun Mu’awiyah, dia adalah lelaki miskin yang tidak memiliki harta. Menikahlah dengan Usamah bin Zaid.” (HR. Muslim).
Para ulama juga menyatakan bolehnya berbicara secara langsung dengan calon istri yang dilamar sesuai dengan tuntunan hajat dan maslahat. Akan tetapi tentunya tanpa khalwat dan dari balik hijab. Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin dalam Asy-Syarhul Mumti’ (130-129/5 cetakan Darul Atsar) berkata: “Bolehnya berbicara dengan calon istri yang dilamar wajib dibatasi dengan syarat tidak membangkitkan syahwat atau tanpa disertai dengan menikmati percakapan tersebut. Jika hal itu terjadi maka hukumnya haram, karena setiap orang wajib menghindar dan menjauh dari fitnah.” Perkara ini diistilahkan dengan ta’aruf. Adapun terkait dengan hal-hal yang lebih spesifik yaitu organ tubuh, maka cara yang diajarkan adalah dengan melakukan nazhor, yaitu melihat wanita yang hendak dilamar. Nazhor memiliki aturan-aturan dan persyaratan-persyaratan yang membutuhkan pembahasan khusus.
Adapun cara yang ditunjukkan oleh syariat untuk mengenal wanita yang hendak dilamar adalah dengan mencari keterangan tentang yang bersangkutan melalui seseorang yang mengenalnya, baik tentang biografi (riwayat hidup), karakter, sifat, atau hal lainnya yang dibutuhkan untuk diketahui demi maslahat pernikahan. Bisa pula dengan cara meminta keterangan kepada wanita itu sendiri melalui perantaraan seseorang seperti istri teman atau yang lainnya. Dan pihak yang dimintai keterangan berkewajiban untuk menjawab seobyektif mungkin, meskipun harus membuka aib wanita tersebut karena ini bukan termasuk dalam kategori ghibah yang tercela. Hal ini termasuk dari enam perkara yang dikecualikan dari ghibah, meskipun menyebutkan aib seseorang. Demikian pula sebaliknya dengan pihak wanita yang berkepentingan untuk mengenal lelaki yang berhasrat untuk meminangnya, dapat menempuh cara yang sama. Dalil yang menunjukkan hal ini adalah hadits Fathimah bintu Qais ketika dilamar oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan Abu Jahm, lalu dia minta nasehat kepada Rasulullah SAW bersabda :
أَمَّا أَبُو جَهْمٍ فَلاَ يَضَعُ عَصَاهُ عَنْ عَاتِقِهِ، وَأَمَّا مُعَاوِيَةُ فَصُعْلُوْكٌ لاَ مَالَ لَهُ، انْكِحِي أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ
“Adapun Abu Jahm, maka dia adalah lelaki yang tidak pernah meletakkan tongkatnya dari pundaknya . Adapun Mu’awiyah, dia adalah lelaki miskin yang tidak memiliki harta. Menikahlah dengan Usamah bin Zaid.” (HR. Muslim).
Para ulama juga menyatakan bolehnya berbicara secara langsung dengan calon istri yang dilamar sesuai dengan tuntunan hajat dan maslahat. Akan tetapi tentunya tanpa khalwat dan dari balik hijab. Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin dalam Asy-Syarhul Mumti’ (130-129/5 cetakan Darul Atsar) berkata: “Bolehnya berbicara dengan calon istri yang dilamar wajib dibatasi dengan syarat tidak membangkitkan syahwat atau tanpa disertai dengan menikmati percakapan tersebut. Jika hal itu terjadi maka hukumnya haram, karena setiap orang wajib menghindar dan menjauh dari fitnah.” Perkara ini diistilahkan dengan ta’aruf. Adapun terkait dengan hal-hal yang lebih spesifik yaitu organ tubuh, maka cara yang diajarkan adalah dengan melakukan nazhor, yaitu melihat wanita yang hendak dilamar. Nazhor memiliki aturan-aturan dan persyaratan-persyaratan yang membutuhkan pembahasan khusus.
2.4 Berta’aruf ala Rasulullah
Banyak orang mengatakan bahwasanya pacaran adalah budaya dan produk dari Negara barat. Padahal sesungguhnya, rasulullah SAW pun dahulu mengalami pacaran (atau nama lainnya tanazhur) yang artinya saling menaruh perhatian.
Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya aku telah diberi karunia dengan cintanya Khadijah kepadaku.” (HR Muslim, Bab “Keutamaan Khadijah”).
Ibnu al-Atsir menceritakan dalam Tarikh-nya bahwa setelah mendengar kabar tentang sifat-sifat Muhammad SAW, Siti Khadijah menawarkan kesempatan kepada beliau untuk membawa barang dagangannya ke Syam. Tawaran ini diterima dan menghasilkan keuntungan yang lebih besar (daripada bila dibawa oleh orang lain). Lantas, Ibnu al-Atsir mengungkapkan “Siti Khadijah sangat gembira menerima keuntungan yang besar itu, tetapi kekagumannya kepada orang yang telah diujinya itu jauh lebih mendalam.” (Kekaguman yang mendalam inilah yang kita kenal sebagai rasa CINTA. Sedangkan ekspresinya kita sebut sebagai (“bercinta“.)
Perhatikanlah bahwa diantara mereka berdua tidak hanya terjadi proses taaruf (dengan wawancara, observasi, dokumentasi, dsb). Diantara mereka ternyata terdapat pula “interaksi yang mendalam” dalam bentuk kerjasama bisnis. Interaksi yang mendalam seperti itulah salah satu perbedaan utama antara pacaran islami dan taaruf.
Pola pacaran islami (alias tanazhur) dengan model kerjasama ala Khadijah-Muhammad itu dapat kita jadikan teladan. Dengan si dia yang Anda sayangi, Anda dapat menjalin kerjasama bisnis, belajar bersama, atau pun melakukan kegiatan bersama lainnya yang membawa manfaat sebesar-besarnya. Justru kalau Anda hanya bertaaruf dengan si dia tanpa interaksi yang mendalam, maka Anda belum sepenuhnya memenuhi Sunnah Nabi tersebut.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Ta’aruf adalah Proses saling mengenal antara seseorang dengan orang lain. Dengan maksud untuk bisa saling mengerti dan memahami. Sedangkan dalam Konteks Pernikahan, maka ta’aruf di maknai sebagai “Aktivitas saling mengenal, mengerti dan memahami untuk tujuan meminang atau menikahi”.
Dalam uraian di atas, sudah diterangkan bahwa Islam tidak mengenal adanya budaya pacaran, melainkan ta’aruf sebagai upaya pengenalannya. Ta’aruf di sini artinya luas, bukan hanya untuk mengenal calon suami atau istri, tetapi juga bisa dijadikan sarana pendekatan dalam hal berbisnis seperti yang dilakukan oleh Rasulullah yang kemudian berujung ke pernikahan.
Berta'aruf pun memiliki etika dan aturannya dalam islam, sehingga tidak disalah artikan ta'aruf menjadi pacaran. Penjabarannya telah disebutkan di atas, bahwa seorang laki-laki dalam menjalani proses ta’aruf tidak dibenarkan hanya berdua dengan calon istrinya, melainkan harus ada yang menemani mereka, paling utama adalah wali (keluarganya).
Saran
Ta’aruf di lakukan ketika laki-laki benar-benar telah siap untuk menikah sehingga, dalam proses ta’arufnya tidak akan terjadi hal yang sia-sia. Oleh karena itu bila seorang laki-laki belum siap betul untuk menikah, maka sebaiknya dia terlebih dahulu mempersiapkan dirinya.
Semoga kita semua senantiasa berada dalam lindungannya dan terjaga dari perbuatan-perbuatan tercela yang merugikan dan dibenci oleh Allah SWT.